ANTARA
UJIAN DAN KESABARAN
Ponda Samarkandi
Ponda Samarkandi
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan
(saja) mengatakan:"Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji
lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-Ankabut[29]: 3).
Kebanyakan orang mengira bahwa apabila ia beriman akan
selamatlah kehidupannya dari berbagai bentuk cobaan dan ujian dan tidak akan
datang kepadanya hal-hal yang menggoyahkan keimanannya, padahal kenyataannya
adalah seperti yang mereka kira dan kondisinya seperti yang mereka sangka,
tidak ada bedanya orang yang tulus beriman dengan yang sekedar pura-pura dan
orang yang berada di atas kebenaran dengan para pengekor kebatilan. Oleh
karenanya sudah menjadi salah satu dari ketetapan (sunnatullah) terhadap
orang-orang terdahulu, menurunkan cobaan dan ujian kepada mereka dengan
kesenangan dan kesulitan, kesempitan dan kelapangan, senang dan susah, kekayaan
dan kemiskinan dan berbagai bentuk fitnah dan cobaan yang lainnya.
Seorang hamba pada setiap kondisinya akan selalu
membutuhkan kesabaran. Hal itu disebabkan karena segala yang didapati hamba di
dunia ini tidak lepas dari dua keadaan:
1.
Perkara-perkara yang sesuai
dengan seleranya yaitu berupa kesehatan, keselamatan, harta, kedudukan dan lain
sebagainya. Seorang hamba membutuhkan kesabaran dalam menghadapi
kondisi-kondisi ini agar ia tidak tunduk kepadanya, tidak mabuk dengan
kelezatannya dan tetap bisa menjaga hak-hak Allah SWT pada hartanya untuk ia infakkan
kepada kebaikan.
2.
Perkara-perkara yang
bertentangan dengan seleranya. Ada tiga macam perkara yang bertentangan dengan
selera atau keinginan seseorang:
Pertama: Macam-macam ketaatan. Seorang hamba
membutuhkan kesabaran untuk mengerjakan ketaatan-ketaatan pada tiga keadaan: Sebelum
memulainya yaitu dengan cara meluruskan niat, ikhlas dan bertahan untuk tidak riya’.
Ketika pelaksanaannya, yaitu bertahan untuk tidak dilalaikan dari Allah SWT pada
saat-saat pelaksanaannya, dan setelah usai mengerjakannya, yaitu dengan
bersabar untuk tidak menceritakan kebaikan yang sudah ia kerjakan sehingga ia tidak
terjatuh ke dalam sikap riya’ (sombong). Barangsiapa yang tidak sabar dalam
kondisi ini, maka ia telah menggugurkan pahala amalannya seusai ia
mengerjakannya.
Kedua: Bersabar untuk tidak melaksanakan kemaksiatan.
Alangkah memerlukannya seorang hamba kepada kesabaran dalam keadaan ini.
Apabila perbuatan tersebut termasuk kemaksiatan yang mudah terjadi seperti
maksiat lisan, ghibah, saling mengolok satu sama lain, dusta,
berbantah-bantahan dan lain sebagainya, maka bersabar padanya lebih berat.
Ketiga: Bersabar pada hal-hal yang di luar kehendaknya.
Seperti musibah, bencana, kematian orang yang dicintai, harta yang binasa,
hilangnya kesehatan dan segala macam bala’ dan bencana lainnya. Sabar pada
kondisi-kondisi ini merupakan derajat yang paling tinggi karena ikatannya erat
dengan keyakinan hamba kepada Allah SWT. Rasulullah SAW pernah bersabda yang
artinya, “Barangsiapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan Allah timpakan
kepadanya musibah”. (H.R. Al-Bukhari.)
Kemudian penting untuk diketahui bahwa sebagaimana Islam
mengajak dan menyeru kepada kesabaran, Islam juga menunjukkan kepada adab-adab
dalam menjalani kesabaran, di antaranya:
1. Bersabar pada momentum yang pertama, yaitu sabar dalam
menjalankan ketaatan kepada Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “Sesungguhnya
kesabaran yang terpuji adalah sabar pada momentum yang pertama”. (Muttafaqun
‘Alaihi).
2. Istirja’ yaitu mengucapkan “Inna Lillahi Wa Inna
Ilaihi Rajiun” ketika musibah menimpanya.
3. Menahan diri dari tindakan yang melampaui batas, seperti
menampar pipi, menjambak rambut atau yang lainnya dari perbuatan-perbuatan yang
menampakkan kedongkolan dan sikap tidak menerima.
Di antara contoh adab yang indah dalam menjalani kesabaran
yang tidak menampakkan kepada orang lain bahwa dirinya sedang mendapatkan
musibah ialah seperti yang telah dilakukan shahabat wanita yang mulia Ummu
Sulaim r.a, ketika Allah SWT timpakan kepadanya musibah dengan kematian
anaknya. Bahwa suatu hari wafatlah anak laki-laki dari Ummu Sulaim r.a dan
ketika itu suaminya Abu Thalhah r.a sedang tidak ada di rumah. Mengetahui sang
suami segera pulang Ummu Sulaim r.a pun berdandan lebih cantik dari biasanya, menyiapkan
makanan dan melayani sang suami seperti tidak terjadi sesuatu di rumah itu.
Selesai ia menjamu dan melayani suaminya, Ummu Sulaim r.a berkata kepada
suaminya, “Apa pendapatmu apabila seseorang memberikan kepada kita suatu
pinjaman kemudian dia memintanya kembali bolehkan kita menolak
mengembalikannya? Sang suami menjawab, “Tentu tidak”. Ummu Sulaim r.a berkata,
“Anak kita sudah tiada dan harapkanlah dari Allah SWT pahala”. (HR. Muslim)
Demikianlah walaupun musibah sesuai kebiasaannya adalah
menyakitkan akan tetapi para salaf memandangnya sebagai kesempatan dan sarana
untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah agar memperoleh pahala dan
keridhaan-Nya. Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “Sesungguhnya besarnya
pahala tergantung besarnya cobaan, dan sesungguhnya apabila Allah cinta kepada
suatu kaum Allah timpakan kepadanya cobaan, barangsiapa yang ridha dia akan
mendapatkan keridha’an dan barangsiapa yang benci dia akan mendapati kebencian”.
(H.R At-Tirmidzi)
Junaidi al-Bagdhadi di dalam kitab Tanbihul Ghafilin yang
dikarang oleh Imam Ghazali mengatakan bahwa ujian atau musibah itu
merupakan penerang bagi orang yang arif, senjata bagi orang beriman, dan
kehancuran bagi orang yang lupa. Seseorang tidak akan mendapatkan rasa manisnya
iman sampai ia mendapatkan musibah dan ia dalam keadaan ikhlas, ridha, serta
sabar dalam menghadapinya. Berdasarkan apa yang telah diucapkan oleh Junaidi
al-Bagdhadi sangat jelas bahwa musibah itu merupakan senjata bagi orang yang
beriman dalam hal mendekatkan diri kepada Allah. Jika orang yang tertimpa
musibah tersebut sabar, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, namun
sebaliknya jika ia benci dengan musibah tersebut, maka ia tidak akan merasakan
manisnya iman.
Maka dari itu, marilah kita senantiasa sabar dan ridha
dalam menghadapi berbagai macam musibah dan persoalan dalam kehidupan ini serta
mengembalikan semua urusan kepada Allah, karena dengan demikian semua musibah
atau persoalan kehidupan yang kita hadapi tersebut akan terasa mudah dan semoga
Allah SWT juga akan memberikan jalan keluar terhadap musibah yang menimpa kita.
Mudah-mudahan kita termasuk orang yang sabar, ridha dan ikhlas dalam menghadapi
berbagai macam musibah yang menimpa kita dan mudah-mudahan kita juga termasuk
orang yang menjadikan musibah itu sebagai sarana untuk lebih mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Amin ya rabbal ‘alamin……!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar