Minggu, 22 April 2012

ANTARA UJIAN DAN KESABARAN


ANTARA UJIAN DAN KESABARAN
Ponda Samarkandi


Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:"Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-Ankabut[29]: 3).
Kebanyakan orang mengira bahwa apabila ia beriman akan selamatlah kehidupannya dari berbagai bentuk cobaan dan ujian dan tidak akan datang kepadanya hal-hal yang menggoyahkan keimanannya, padahal kenyataannya adalah seperti yang mereka kira dan kondisinya seperti yang mereka sangka, tidak ada bedanya orang yang tulus beriman dengan yang sekedar pura-pura dan orang yang berada di atas kebenaran dengan para pengekor kebatilan. Oleh karenanya sudah menjadi salah satu dari ketetapan (sunnatullah) terhadap orang-orang terdahulu, menurunkan cobaan dan ujian kepada mereka dengan kesenangan dan kesulitan, kesempitan dan kelapangan, senang dan susah, kekayaan dan kemiskinan dan berbagai bentuk fitnah dan cobaan yang lainnya.
Seorang hamba pada setiap kondisinya akan selalu membutuhkan kesabaran. Hal itu disebabkan karena segala yang didapati hamba di dunia ini tidak lepas dari dua keadaan:
1.        Perkara-perkara yang sesuai dengan seleranya yaitu berupa kesehatan, keselamatan, harta, kedudukan dan lain sebagainya. Seorang hamba membutuhkan kesabaran dalam menghadapi kondisi-kondisi ini agar ia tidak tunduk kepadanya, tidak mabuk dengan kelezatannya dan tetap bisa menjaga hak-hak Allah SWT pada hartanya untuk ia infakkan kepada kebaikan.
2.        Perkara-perkara yang bertentangan dengan seleranya. Ada tiga macam perkara yang bertentangan dengan selera atau keinginan seseorang:
Pertama: Macam-macam ketaatan. Seorang hamba membutuhkan kesabaran untuk mengerjakan ketaatan-ketaatan pada tiga keadaan: Sebelum memulainya yaitu dengan cara meluruskan niat, ikhlas dan bertahan untuk tidak riya’. Ketika pelaksanaannya, yaitu bertahan untuk tidak dilalaikan dari Allah SWT pada saat-saat pelaksanaannya, dan setelah usai mengerjakannya, yaitu dengan bersabar untuk tidak menceritakan kebaikan yang sudah ia kerjakan sehingga ia tidak terjatuh ke dalam sikap riya’ (sombong). Barangsiapa yang tidak sabar dalam kondisi ini, maka ia telah menggugurkan pahala amalannya seusai ia mengerjakannya.
Kedua: Bersabar untuk tidak melaksanakan kemaksiatan. Alangkah memerlukannya seorang hamba kepada kesabaran dalam keadaan ini. Apabila perbuatan tersebut termasuk kemaksiatan yang mudah terjadi seperti maksiat lisan, ghibah, saling mengolok satu sama lain, dusta, berbantah-bantahan dan lain sebagainya, maka bersabar padanya lebih berat.
Ketiga: Bersabar pada hal-hal yang di luar kehendaknya. Seperti musibah, bencana, kematian orang yang dicintai, harta yang binasa, hilangnya kesehatan dan segala macam bala’ dan bencana lainnya. Sabar pada kondisi-kondisi ini merupakan derajat yang paling tinggi karena ikatannya erat dengan keyakinan hamba kepada Allah SWT. Rasulullah SAW pernah bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan Allah timpakan kepadanya musibah”. (H.R.  Al-Bukhari.)
Kemudian penting untuk diketahui bahwa sebagaimana Islam mengajak dan menyeru kepada kesabaran, Islam juga menunjukkan kepada adab-adab dalam menjalani kesabaran, di antaranya:
1.    Bersabar pada momentum yang pertama, yaitu sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “Sesungguhnya kesabaran yang terpuji adalah sabar pada momentum yang pertama”. (Muttafaqun ‘Alaihi).
2.    Istirja’ yaitu mengucapkan “Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun” ketika musibah menimpanya.
3.    Menahan diri dari tindakan yang melampaui batas, seperti menampar pipi, menjambak rambut atau yang lainnya dari perbuatan-perbuatan yang menampakkan kedongkolan dan sikap tidak menerima.
Di antara contoh adab yang indah dalam menjalani kesabaran yang tidak menampakkan kepada orang lain bahwa dirinya sedang mendapatkan musibah ialah seperti yang telah dilakukan shahabat wanita yang mulia Ummu Sulaim r.a, ketika Allah SWT timpakan kepadanya musibah dengan kematian anaknya. Bahwa suatu hari wafatlah anak laki-laki dari Ummu Sulaim r.a dan ketika itu suaminya Abu Thalhah r.a sedang tidak ada di rumah. Mengetahui sang suami segera pulang Ummu Sulaim r.a pun berdandan lebih cantik dari biasanya, menyiapkan makanan dan melayani sang suami seperti tidak terjadi sesuatu di rumah itu. Selesai ia menjamu dan melayani suaminya, Ummu Sulaim r.a berkata kepada suaminya, “Apa pendapatmu apabila seseorang memberikan kepada kita suatu pinjaman kemudian dia memintanya kembali bolehkan kita menolak mengembalikannya? Sang suami menjawab, “Tentu tidak”. Ummu Sulaim r.a berkata, “Anak kita sudah tiada dan harapkanlah dari Allah SWT pahala”. (HR. Muslim)
Demikianlah walaupun musibah sesuai kebiasaannya adalah menyakitkan akan tetapi para salaf memandangnya sebagai kesempatan dan sarana untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah agar memperoleh pahala dan keridhaan-Nya. Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “Sesungguhnya besarnya pahala tergantung besarnya cobaan, dan sesungguhnya apabila Allah cinta kepada suatu kaum Allah timpakan kepadanya cobaan, barangsiapa yang ridha dia akan mendapatkan keridha’an dan barangsiapa yang benci dia akan mendapati kebencian”. (H.R At-Tirmidzi)
Junaidi al-Bagdhadi di dalam kitab Tanbihul Ghafilin yang dikarang oleh Imam Ghazali mengatakan bahwa ujian atau musibah itu merupakan penerang bagi orang yang arif, senjata bagi orang beriman, dan kehancuran bagi orang yang lupa. Seseorang tidak akan mendapatkan rasa manisnya iman sampai ia mendapatkan musibah dan ia dalam keadaan ikhlas, ridha, serta sabar dalam menghadapinya. Berdasarkan apa yang telah diucapkan oleh Junaidi al-Bagdhadi sangat jelas bahwa musibah itu merupakan senjata bagi orang yang beriman dalam hal mendekatkan diri kepada Allah. Jika orang yang tertimpa musibah tersebut sabar, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, namun sebaliknya jika ia benci dengan musibah tersebut, maka ia tidak akan merasakan manisnya iman.
Maka dari itu, marilah kita senantiasa sabar dan ridha dalam menghadapi berbagai macam musibah dan persoalan dalam kehidupan ini serta mengembalikan semua urusan kepada Allah, karena dengan demikian semua musibah atau persoalan kehidupan yang kita hadapi tersebut akan terasa mudah dan semoga Allah SWT juga akan memberikan jalan keluar terhadap musibah yang menimpa kita. Mudah-mudahan kita termasuk orang yang sabar, ridha dan ikhlas dalam menghadapi berbagai macam musibah yang menimpa kita dan mudah-mudahan kita juga termasuk orang yang menjadikan musibah itu sebagai sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Amin ya rabbal ‘alamin……!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar